Kamis, 17 Mei 2012

naskah teater

Diadaptasi dari cerita pendek karya Lian Kagura yang berjudul 


PEREMPUAN TELAGA DUKA
karya : Gufron Hadi


BABAK I
Tentang Sepenggal Kisah Cinta Retno Sehingga Telaga Itu Terkenal Sebagai Telaga Duka
Scene 1:
(Narrator mendeskripsikan suasana di tepi telaga duka yang tenang dn hening. Hanya ada suara gemericik air dan kicau burung. Saat Retno dan Widodo biasa bertemu di sana)
Narrator 1        : Di punggung ngarai sebuah gunung, di mana burung-burung masih gemar bernyanyi, angin sejuk membelai dedaunan yang rimbun, hening, tenang. Hanya gemericik air yang jernih yang terdengar, terdapat sebuah telaga, dengan bebatuan dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh di sekeliling tepiannya. Di bawah langit senja yang kian memerah, menjadi saksi bisu dua insan yang sedang mengurai cinta.
(Dilanjutkan dengan dialog antara Retno & Widodo yang menggambarkan karakter Widodo yang romantis, penyayang, care dan sering menasehati Retno, sehingga Retno menjadi merasa tergantung padanya) – Dialog Widodo dan Retno dalam bentuk puisi
(Retno dan Widodo berdiri di pinggir telaga)
Widodo            : (tersenyum gembira) Duhai bidadariku, kau tampak cantik sekali sore ini. Aku begitu merindukanmu. Siang, malam, bahkan mentaripun enggan beranjak ke peraduannya, ingin berlama-lama menatap wajahmu yang jelita dan anginpun ingin membelai rambutmu yang hitam.
Retno               :  (tersenyum gembira) Oh Kakanda Widodo, engkaupun terlihat gagah sore ini. Aku juga sangat menantikan saat-saat berjumpa denganmu. Meniti hari, bersama-sama menatap merahnya langit senja, hanya kita berdua, disaksikan oleh nyanyian burung-burung dan sejuknya air telaga ini. Aku begitu bahagia…
Widodo            : (bingung) Akupun demikian, Dik Retno. Tetapi, mengapa matamu terlihat sembab? Apa yang terjadi? Apakah kau habis menangis?
Retno               : (tersipu malu) Ah Kakanda Widodo, aku menangis bukan karenamu. Tetapi karena begitu merindukanmu. Terutama di malam-malam dingin yang tak berawan, bintang enggan menari dengan rembulan. Aku sungguh kesepian tanpamu. Aku selalu teringat padamu. Aku sungguh tak sabar ingin berjumpa denganmu. Aku ingin selalu bersamamu. Aku tidak mau membagimu dengan seorangpun.
Widodo            : (memegang kedua bahu Retno)Dik Retno, bersabarlah. Sabar itu adalah pelita hati, penghias akhlak dan penenang jiwa. Percayalah, buah kesabaran itu manis rasanya. Bukankah aku selalu datang menjumpaimu di sini? Dan ingatlah selalu pada Sang Maha Kasih, karena Ia-lah kita dapat selalu berjumpa di sini.
Retno               : (Memegang tangan Widodo)Ya benar, Kakanda Widodo. Kau benar. Kau selalu benar. Tetapi aku seringkali ingin memutar dunia ini lebih cepat sehingga waktu berpacu mengalahkan segala rasa dan membawaku ke senja dimana aku dapat bertemu denganmu. Dan aku berharap waktu berhenti selamanya, saat aku bersamamu.
Widodo            : (tersenyum) Sabar dan ikhlaslah dalam menjalani hari. Ikhlas menunggu saat-saat bahagia kan menjelang. Berjanjilah padaku kau tidak akan menangis lagi?
Retno               : (meletakkan tangan kanan di dada) Aku berjanji, Kakanda. Apapun yang kau katakan adalah titah bagiku.
Widodo            : Aku sayang padamu, Dik Retno. Terimalah bunga mawar ini sebagai tanda kasihku yang tulus padamu. (Widodo memberikan bunga mawar merah pada Retno)
(mereka berdua, duduk bersisian di tepi telaga)
Narrator 1        : Di atas bebatuan, di bawah pohon beranting dan berdaun lebat, bersama-sama menyaksikan ratu malam menurunkan tirai hitamnya, menutupi langit senja yang kian memudar bersama mentari.
Scene 2:
(Menceritakan tentang Widodo dan Retno yang berjanji untuk bertemu di telaga duka pada senja keesokan harinya.  – Dialog Widodo dan Retno dalam bentuk puisi
Widodo            : Dik Retno, tak terasa sudah hampir seribu senja kita habiskan bersama di tepi telaga ini. Apakah kau tidak bosan duduk di sini bersamaku?
Retno               : (bingung) Bosan? Bagaimana mungkin aku bosan bila bersamamu, Kanda? Lihatlah rumpun-rumpun bunga yang meliuk lembut ditiup angin, langit merah mengarak senja, burung-burung terbang rendah kembali ke sarangnya,  dan permukaan air telaga ini tampak begitu jernih dan tenang. Setenang hatiku bila bersamamu.
Widodo            : Lega hatiku mendengarnya. Dik Retno, apakah engkau bersedia untuk menungguku di sini esok hari? Aku hendak membicarakan sesuatu yang sangat penting denganmu.
Retno               : (tersenyum penuh semangat)Tentu saja, Kanda. Apapun yang kau katakan adalah titah bagiku. Aku akan menunggumu di sini, esok hari, kala cakrawala mulai membiaskan merah saganya, kala mentari mulai mengatupkan kelopak matanya, hingga Kanda datang menemuiku di sini.
Widodo            : (memohon) Dan maukah engkau berdandan yang paling cantik untukku? Aku sangat suka bila melihatmu mengenakan kebaya putih dan kain lurik cokelat, dengan gelang di pergelangan tanganmu. Dan aku sangat suka bila engkau mengurai rambut panjangmu yang hitam.
Retno               : (tersenyum penuh semangat) Tentu saja, Kanda. Apapun yang kau minta akan aku turuti. Kata-katamu adalah titah bagiku.
Widodo            : (serius) Dan kau menungguku di sini sampai aku datang?
Retno               : (sambil memandangi telaga) Aku akan selalu menunggumu di sini Kanda. Hingga butir-butir pasir tidak lagi menyentuh pantai. (menghadap ke Widodo) Apa yang akan engkau bicarakan padaku, Kanda?
Widodo            : Sabar, Dik Retno. Tunggulah hingga esok senja menjelang. Kau akan mengetahuinya. Sesuatu hal yang akan mengubah masa depanmu untuk selamanya.
Scene 3: 
(Pada senja esok harinya, Retno datang ke telaga duka dengan berdandan rapi, menunggu kedatangan Widodo di tepi telaga, tetapi Widodo tidak datang-datang. Retno duduk di tepi telaga hingga malam tiba.
Retno               : (lelah) Duhai kekasihku tercinta, di manakah engkau berada sekarang? Aku sudah duduk menunggumu di sini, di tepi telaga ini. Aku menunggumu datang untuk mendengarmu mengatakan hal penting itu. Lihatlah, aku sudah mengenakan kebaya putih dan kain lurik cokelat kesukaanmu. Rambutkupun sudah tergerai mewangi, hingga kupu-kupu beterbangan dan kunang-kunang menari di sekitarku, dan senjapun tersenyum menatapku. Tetapi… engkau belum datang juga….
Narator1 : Senja esok harinya
Narrator 1        : Senja telah kembali memeah di ufuk barat, menyapa insan yang tengah menunggu cinta
Retno               : (duduk-berdiri-duduk di atas batu) Duhai Kanda Widodo… di manakah engkau berada? Mengapa hingga kini engkau tidak datang-datang juga? Kesalahan apa yang aku lakukan sehingga engkau tidak lagi datang menemuiku? Aku selalu menuruti kata-katamu. Kata-katamu adalah titah bagiku. Engkau berada di mana?
Narator 1 : Beberapa senja kemudian
Narrator 1        : Senja tak bosan-bosannya datang ke haribaan dunia. Entah kehadirannya diharapkan atau tidak, ia selalu setia menghampiri dan menyelimuti buana dengan selendang merahnya. Namun, bukan senja yang ditunggu, melainkan kedatangan cinta sang kekasih.
Retno               : (menangis sambil duduk di atas batu) Kanda… Engkau ada di mana sekarang? Aku begitu merindukanmu… Aku ingin bersamamu… mendengar suara lembutmu… melihat senyummu … Kemanakah engkau, Kanda??? Engkau ke manaaaa???
Narator 1: Beberapa senja kemudian
Narrator 1        : Senja kembali datang. Datang membawa asa. Pergi membawa rindu. Dan malam menghias dengan putus asa dan air mata.
Retno               : ( Retno duduk terbengong-bengong)  Kanda Widodo, sudah hampir seratus senja telah berlalu. Daun-daun menjadi kering dan berguguran ke tanah, nyanyian burung-burung terdengar serak, angin bertiup sangat dingin, membekukan hatiku, yang kian membiru, di dalam rindu. Dan telaga ini, Telaga Dukaku, menjadi saksi bisu, kerinduan hatiku, padamu, kekasihku… 
Narrator 1        : Sepi membalutnya dalam kesunyian yang abadi. Di dalam penantian yang tiada berujung. Sepi yang melebur dalam rindu. Rindu yang beku. Membekukan segala rasa, menghempaskan segala asa….
BABAK II
Tentang kehidupan Paijo sehingga ia ingin bunuh diri di telaga duka
Scene 1:
(Menceritakan mengenai kondisi psikologis Paijo yang mendapat tekanan dari lingkungannya) – Narrator dalam bentuk puisi
Narrator 2        : Di sisi lain ngarai itu, di punggung gunung yang sama, di bawah langit senja yang sama, laki-laki muda merajut hari, di dalam dunia yang jarang tersenyum padanya. Sepenuh hati menahan rasa, akan asa dan angan-angan yang terbuang. Akan mimpi yang tak pernah menjadi miliknya. Tak dapat banyak berharap. Dunia tidak memberi banyak tempat luang di dalam keberadaannya. Mengiris, menyayat perasaan. Hingga ia dekap segala luka yang bercucuran mengalir dari hati seputih kertas.
Narator: membuat puisi tentang tekanan-tekanan yang sangat menghimpitnya hingga terbawa tidur (belum dibuat)
Narrator 2        : tak kuasa hati menanggung, beban jiwa yang kian menghimpit. Hari-hari kering, bahkan mimpipun berbunga bangkai, terus mengejarnya hingga ke ujung waktu.
(Narator: menjelaskan siapa tokoh Ponirah)
Narrator 2        : Dalam hangatnya belaian dan kasih sayang ibu, tercurah pada permata hati satu-satunya, setelah belahan jiwa telah lama berpulang pada Sang Cinta. Mendekap erat buah hati, walau kadang ia lupa, buah hati tercinta telah beranjak dewasa. Cinta seorang ibu, yang mengalahkan dalamnya samudera, luasnya jagad raya dan tingginya cakrawala.
Ponirah : (menyiapkan sarapan) Le! Ayo sarapan!
Paijo     : (langkah tak bersemangat menuju meja makan sambil membawa tas kerjanya) Bu, saya    ingin ke kota. Ingin mengadu nasib. Siapa tahu hidup kita bisa lebih baik. Lihat teman-teman SMA-ku. Mereka sudah bisa mengangkat kehidupan keluarganya.
Ponirah : (sambil duduk) Le, bukan ibu nggak kasih. Ibu hargai niat baikmu...,tapi ibu nggak ingin kamu seperti Bejo, Supinah atau Sumiati. Gaya mereka berlebihan.
Paijo     : (menggaruk kepala yang tidak gatal)Tapi Bu...
Ponirah : (meletakkan gelas di meja)Sudahlah! Kamu kowe tega meninggalkan ibu sendiri di desa?
Paijo     : (memohon) Bukan begitu Bu...
Ponirah : (marah)Ya sudah di desa saja! Tugasmu banyak di desa ini! Menjaga ibu untuk ayahmu! Membalas budi baik pak Subroto yang telah memberimu pekerjaan di sekolahnya Meningkatkan kecerdasan anak-anak di desa ini! Membangun desa ini!
(Paijo kembali posisi tidur)
Scene 2:
Narator: mejelaskan siapa tokoh Bejo, Supinah dan Sumiati.
Narrator 2        : Sahabat, apakah Sahabat yang dulunya pernah mewarnai jalan bersama-sama, tertawa dan menangis bersama, tetapi setelah pernah terpisah jarak dan waktu, seakan menjadi orang asing yang tak bisa dikenali lagi
(Bejo, Supinah, dan Sumiati bertemu di jalan besar)
Bejo     : Cie...Pinah, ponsel baru nih!
Supinah : (memainkan ponsel di depan wajahnya) Tentu saja baru! Hidup gua kan makmur. Bentar-bentar! Lo panggil gua apa?Pinah! Kampung banget! Nama gua sudah ganti jadi Vina! Ingat baik-baik di otak lo yang paling waras!
Bejo : Maaf deh Vina! (menoleh ke arah Sumiati) lo ganti nama juga?
Sumiati : Ya iya lah! Lo pikir? Kalo pekerjaan gua pembantu, gak ganti nama sih pantas!
Bejo : Trus apa?
Sumiati : (kesal) Panggil gua Mita! Jangan sampai...
(Paijo menuju sekolah sambil membawa tas dan bertemu mereka bertiga di tengah perjalanannya)
Paijo : (kaget) Apa kabar?
Bejo :  Baik!
Paijo : (Paijo memperhatikan baju Bejo) Wah, Bejo keren banget ya..!
Bejo : (kesal) Gila lo ya! Tampang keren gini masih aja lo panggil Bejo. Sudah ganti jadi Joe! Ingat itu!
Supinah : (mencibir) Mo kemana Pai?
Paijo : (malu-malu) Ke sekolah
Sumiati : (mencibir) Masih ngajar Pai?
Paijo : Iya.
Bejo : Masih betah hidup di desa? Memang gak punya rencana ke kota? Kayak kita ini! Emang lo gak ingin membahagiakanibu dan diri sendiri dengan berlimpah materi? Jakarta adalah jawabannya!
Supinah :  betul tuh Pai! Gua heran, lo katanya pintar, tapi kenapa untuk pilihan yang satu ini bodoh banget!
Sumiati : gua yakin dengan kepintaran yang lo miliki dalam beberapa bulan sudah dapat mengumpulkan uang banyak.
Paijo : (kepala tertunduk) Saya ingin...
Bejo : (menyela) Ya sudah! Ayo ke Jakarta! Apa butuh bantuan?
Paijo : (menghindar sambil melihat jam tangannya) Maaf, saya harus ke sekolah. Ntar terlambat!
(Paijo kembali tidur)
                                                                                                                      
Scene 3:
Narator : menjelaskan siapa tokoh Riandi.
Narrator 2        : Resah, gelisah, saat jiwa terpenjara di tempat yang tidak disukai, tempat yang tidak semestinya. Hasrat ingin segera pergi meninggalkan pegunungan nan asri, meninggalkan tawa riang anak-anak desa yang polos dan lugu. Namun apa daya, kaki sudah terantai pada secarik perjanjian, yang takkan bisa diubah.
(Riandi masuk kamar Paijo)
Riandi : (duduk di sisi tempat tidur Paijo) Lemes banget Pak!
Paijo : (membuka matanya dan duduk di tempat tidur) Eh, pak Riandi.
Riandi : (sedih) Waktu di desa terasa berjalan sangat lambat. Kalau tau jadi PNS gak enak kayak begini...saya nggak akan ambil. Lebih baik jadi guru ke rumah-rumah di Jakarta.
Paijo : (polos) Bukankah Bapak sudah melakukannya?
Riandi : Memang! Tapi, di desa bayarannya kecil. Pake singkong, pisang, ubi....sudah bosan! (diam sejenak sambil wajahnya mendongak ke atas) Coba kalau di Jakarta, sekali datang dibayar Rp 50000,- setiap hari bisa makan enak
(Paijo tersenyum getir)
Riandi : Paijo kamu pintar! Sayang, kalau kamu habiskan di desa terpencil ini! Saya yakin jika ke Jakarta, kamu bisa lebih hebat dari sekarang ini
(Paijo makin tertunduk dengan lesu lalu kembali tidur)
Scene 4:
Narator : menjelaskan tokoh Sri, Atun, Parinem, Wati, dan Suti.
Narrator 2        : Gadis-gadis muda, berkerumun bak kupu-kupu di taman bunga, penuh semangat, penuh gairah, di masa muda nan cemerlang, tak sabar ingin segera memenuhi pundi jiwa dengan ilmu. Mimpi dan asa berbaur. Tunas muda yang tengah merekah.
(Sri, Atun, Parinem, Wati, dan Suti masuk ke kamar Paijo)
Sri : (senyum) Siang Pak!
Paijo : (senyum terpaksa) Siang anak-anak!
Parinem : (mendekati Paijo) Para Guru mngatakan, “Bapak sakit”. Bener?
Paijo : (bingung) Ah, tidak!
Sri : (lega) Baguslah kalo Bapak baik-baik saja!
Parinem : Pak, kami boleh tanya sesuatu gak?
Paijo : (terpaksa senyum) Tentu saja boleh
Parinem : Bener gak sih Pak kalo hidup di Jakarta enak?
Sri : (manja, memegang lengan baju Paijo) Bener gak sih Pak? Setelah selesai sekolah, orang tua saya menyuruh saya ke Jakarta. Biar bisa bantu adik-adik. Maksudnya ibu, sekalian dapat jodoh orang kota gitu
Atun : (menepuk bahu Sri) Yang sopan bicaranya!
Suti : Biarkan pak Paijo berbicara!
Paijo : (berusaha tersenyum) Tentu saja enak! Katanya, jadi pemulung saja bisa kaya.
Parinem : (penasaran) Trus kenapa Bapak masih di desa?
(bersamaan Atun, Suti, Sri, dan Wati memukul tubuh Parinem)
Parimen : (kesal sambil mengelus-elus lengannya) Sakit!
                                   
Narator :  menjelaskan tentang kepala sekolah.
Narrator 2        : Persahabatan lama jadi jaminan, memberi pekerjaan bagi keturunan sang sahabat. Karena kasihan atau karena budi yang perlahan-lahan memudar seiring berlarinya waktu?
(Subroto masuk ke kamar Paijo)
Subroto : (penasaran) Ada apa ini?
(Sri, Parinem, Atun, Wati, Suti, dan Paijo terdiam)
(semua murid pergi tergesa-gesa)
Subroto : (merangkul pundak Paijo) Sudahlah jangan kamu dengarkan perkataan mereka. Omongan anak-anak! Tempatmu di sini! Membangun desa ini. Kamu tahu alasanku mempekerjakan kamu di sekolah ini meski kamu bukan lulusan pendidikan guru?
(Paijo terdiam sambil memandang Subroto dengan pandangan bingung)
Subroto : Bapakmu minta agar aku membantunya menjaga keluarganya. Ia ingin kamu tetap di desa. Menjaga ibumu...hanya kamu anak mereka.
Paijo : Tapi Bejo...
Subroto : Ah! Bejo memang susah di atur. Saya juga inginya ia jadi guru saja, tapi ... ia ingin ke Jakarta. Entah kerja apa di sana. Kalau di tanya selalu saja menghindar. (tertunduk sebentar) kamu dilahirkan untuk desa ini.
(Paijo kembali tidur di tempat tidurnya)
Scene 5:
Narator : menjelaskan tokoh Sulastri dan Aini.
Narrator 2        : Seiring dengan pertambahan usia dan berkurangnya bukan berarti kebijaksanaan dan pemahaman akan arti kehidupan juga semakin bertambah. Bukankah mereka yang pandai adalah mereka yang mengaku dirinya bodoh, daripada mereka yang mengaku pintar padahal sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa?
(Ponirah sedang ngobrol dengan Sulastri dan Aini, sedangkan Paijo memandangi mereka dari kejauhan)
Sulastri : Lagi sibuk Yu?
Ponirah : (mendongakkan wajah sambil tersenyum lebar) Eh, Yu Sulastri dan Yu Aini. Darimana mau kemana?
Aini : (mengeluarkan bungkusan) Saya ingin kasih ini. Oleh-oleh dari anak-anak saya.
Ponirah : (menerima) terima kasih! Sukses ya di Jakarta?
Aini : Alhamdulillah Yu! Bawa banyak barang-barang. Trus bisa kasih saya uang lagi.
Ponirah : (tersenyum) Wah, senang dong! Kerja apa di Jakarta?
Aini : (bingung) katanya bagian jasa.
Ponirah : (penasaran) Jasa apa?
Aini : Aduh! Saya lupa tanya. Pasti kerjaannya halal la! Kan sejak kecil diberi ilmu agama yang baik oleh bapaknya. Gak mungkin mereka terjerumus!
Ponirah: (kesal. Lalu mengalihkan ke Sulastri) Gimana kabar Bejo?
Sulastri : (tersenyum) Baik Yu! Sekarang dia sudah bisa membelikan saya motor.
Ponirah : (kesal) Mana motornya? Kok nggak dipakai?
Sulastri : (tersipu malu) Belum bisa naik motor. (sombong) Tapi, itu nggak penting Yu. Yang penting Bejo mampu belikan saya motor. Hebat ya anak saya?
Ponirah : (kesal) Iya, hebat!
Sulastri : Gimana kabar Paijo? Nggak ada niata mengikuti jejak Bejo? Sayang kan wong lanang di rumah saja.
Ponirah : Dia temani saya di sini. Lagipula saya tidak ingin Paijo jadi orang yang berlebihan.
Sulastri : (bingung) Berlebihan? Maksud Yu?
Ponirah : Biasa, kalau baru pulang dari kota suka pake barang-barang mewah yang sebenarnya belum di butuhkan untuk kehidupan di desa. 
Sulastri : (kesal) Kalau kita punya kenapa nggak! Tapi... tujuan Bejo ke kota untuk belajar hidup mandiri.
Ponirah : Setahu saya mandiri seseorang nggak bisa dilihat dari keberadaan dia hidup, tapi apa yang dilakukan untuk hidup.
Aini : (tangan kiri memegang bahu kanan Sulastri dan tangan kanan memegang bahu Ponirah) Sudahlah! Tiap orang punya jalannya masing-masing. Nggak salah Bejo belajar mandiri di kota dan nggak salah juga Paijo tetap di desa.
(Paijo sedih mendengar ucpan mereka. Lalu segera kembali tidur)
Narrator 2        : Hari demi hari berwarna kelabu. Menahan kekesalan yang kian menggigit. Ingin rasanya memberontak, memalingkan jiwa rapuhnya ke dalam masa dan lembar-lembar kertas kehidupan yang kian menguning. Hati ini kian memberontak. Menggedor-gedor jiwa. Ingin keluar. Ingin menjerit. Melengking. Dan pergi. Sejauh mungkin. Meninggalkan tawa renyah dunia yang terdengar kian sengau dan sumbang. Kemanakah kan dibawa hati yang kian terpenjara?
BABAK III
Awal Paijo bertemu Retno hingga saling berkirim surat
Scene 1:
Narator : menjelaskan tokoh ustadz.
Narrator 1        : Bilakah  seorang guru, disebut guru, apabila ia dilebihkan sedikit ilmu, dilebihkan sedikit derajat, dilebihkan sedikit kedudukan, daripada hamba yang lain? Nikmatkah itu? Ataukah ujian?
(Ustadz masuk kamar ketika Paijo sedang bengong di atas tempat tidurnya)
Ustadz : (mendekati Paijo) Kamu kenapa? Bapak liat kamu murung terus!
Paijo : (tersenyum terpaksa) Ah, tidak ada apa-apa.
Ustadz : (penasaran) kamu bisa bohongi semua orang, tapi tidak saya. Ceritakanlah, siapa tahu saya bisa bantu.
(Paijo memandang ragu pada Ustadz)
Ustadz : (memaksa) Ngomong saja! Rahasia terjamin!
Paijo : (bingung) Pak, dimana kah seorang Pria seharusnya berada?
Ustadz : (bingung) Di depan! Menjadi pemimpin!
Paijo : (bingung) Lalu apa yang harus dipilih pemimpin itu jika dihadapkan dua pilihan. Nama baik atau bakti pada orang tua.
Ustadz : (bingung) Mmm...pilihan yang sulit. Kamu hanya perlu merenungkan. Saya yakin kamu bisa menemukan jawabannya. Mulai sekarang lebih dekatkan diri pada Allah. Jangan pernah tinggalkan sholat lima waktu! Pelajari Al Qur’an dan rajinlah bangun malam!
(azan)
Ustadz : (berdiri) Ayo kita Sholat! Sudah masuk waktu sholat!
Paijo : (menengadahkan wajahnya dengan raut bingung) Baik!
Scene 2:
(Monolog puisi – Paijo pulang dari musholla di senja hari. Berjalan termangu-mangu menuju telaga)
Paijo                : (bingung) Siapakah yang dapat mendengar teriakan jiwaku? Yang tengah menjerit-jerit di dalam ruang kalbuku? Kemanakah akan kubawa segala gundahku? Apakah dapat kutenggelamkan bersama sinar merah matahari? Jauh ke dalam telaga duka yang sunyi? Atau terbang dibawa angin yang bertiup dingin? Lepas… Bebas… Menjauh menuju senja???
(Paijo hendak menceburkan diri ke dalam telaga, tapi ia melihat Retno yang duduk di seberang telaga)
Paijo                : (penasaran) Siapakah dia? Apa yang ia pandang? Apakah ia terlena pada jernihnya air telaga duka ini? Telaga dukaku yang hendak menelan semua sepiku. Apakah ia sama kesepiannya seperti aku? Siapakah namanya? Dan kenapa ia duduk di sana? Di tepi telaga tanpa melakukan apa-apa? Hanya menatap senja yang kian memerah? Ya Tuhan, katakanlah padaku siapa dia?
Narator : Keesokan senja.
Narrator 1        :  Hari telah berganti. Waktu terus berdentang. Mengganti seribu kisah, memupus sejuta lara dan cairkan rindu yang kian membiru.
Paijo                : (Paijo kembali datang ke telaga itu, mengintip dari balik rumpun bambu dan alang-alang) Wahai telaga duka, tempatku meleburkan gelisah tanpa bekas, hanyut tersedot nyanyian kupu-kupu. Rasa ini telah berbunga. Bunga cinta yang mendatangkan pelangi berjuta rasa. Bongkahan penghapus segala lara di dalam jiwa. Engkau, engkau perempuan di seberang sana, engkau yang datang dan pergi bersama senja, kau warnai hatiku yang merana. Mengapa setiap sore engkau duduk di tepi telaga itu?
Scene 3:
Opening oleh monolog puisi Retno yang menanti Widodo dan monolog-monolog puisi Paijo yang jatuh cinta pad Retno yang membuat ia tiap sore ke telaga dan kemudian mereka saling berkirim surat
Retno               :  Senja ini, samakah seperti kemarin? Atau kemarinnya lagi? Atau kemarin dan kemarinnya lagi? Air di telaga ini masih jernih, alang-alang itu masih tumbuh di sekitar telaga, dan daun-daun kian berguguran, berserak di bawah kakiku yang tanpa alas. Kemanakah dapat kulabuhkan penantian ini? Bilakah alam berbaik hati membalikkan telapak tangannya untukku, memundurkan jarum jam hingga aku kembali ke masa itu? Masa-masa bahagia penuh cinta? Penuh senyum dan cahaya? Tahukah engkau, Kanda, aku masih di sini… Menunggu kedatanganmu di sini… Kebayaku sudah tidak putih lagi… Cokelat kini warnanya… Kain lurikku bukan lagi cokelat… Hitam kini warnanya…
Paijo menatap Retno dari balik alang-alang di seberang telaga duka
Paijo                : Perempuan…Siapakah engkau? Mengapa dengan menatap wajahmu yang cantik dibias merah senja, merekahkan segala rasa di dalam dada? Menghilangkan resah dan gelisah? Tuhan… sungguh aku tidak menyangka… Bertemu dengannya di sini, saat hatiku meniti tepian keputus-asaan, Kau lemparkan bingkisan kejutan ke dalam pangkuanku, Ya Tuhan… Manis… Semanis madu… Berbungkus merah dan berpita biru… Merdu… Semerdu nyanyian burung-burung hinggap di pundaknya… Cinta… Mengapa tiap sore engkau selalu duduk di tepi telaga itu? Dengan apakah aku dapat mengetahui siapa dirimu?
Paijo memberanikan diri mengirim surat pada Retno, dilanjutkan dengan surat menyurat antara Paijo dan Retno (dialog surat-surat ditulis oleh Mbak Lily & Mas Adi, ditutup dengan surat Paijo yang menyatakan cinta pada Retno)
Surat Paijo 1:
Kepada engkau yang termenung di telaga ini, aku selalu melihatmu kala senja hari di sini. Yang membuat dirimu terlihat lebih indah dari semuanya. Kau bagai mentari senja nan indah, seindah sore ini. Aku ingin mengenalmu. Mengenal tawa dan senyummu. Kelakarmu, tangismu dan bahagiamu.
Duhai engkau, biarkan aku sedikit tahu banyak tentangmu. Sampai aku tak terbelenggu dengan rasa penasaranku. Tolong, janganbiarkan aku menunggu mengenalmu lebih lama lagi.
Ttd
Paijo
Surat Retno 1:
Siapakah engkau? Di manakah gerangan dirimu berada? Dari tepi telaga ini, aku tak dapat menangkap sosokmu. Betapa beruntungnya engkau masih bisa melihat indahnya mentari senja. Karena bagiku, langit senja ini semerah hatiku. Paijo... kau boleh panggil aku Retno...
Ttd
Retno
Surat Paijo 2:
Aku tahu kini, retno namamu. Nama itulah yang membuatku menjadi penasaran. Membuatku seolah tak ingin mengenal orang lain selain dirimu. Jika boleh aku tahu, mengapa kau selalu bersemayam di senja hari? Di mana kau saat mentari bersinar atau kala langit berselimut bintang? Aku ingin melihatmu di setiap waktuku jika akubisa. Namun senja membatasiku. Retno, aku senang bisa berkenalan denganmu.
Ttd
 Paijo
Surat Retno 2:
Duhai Paijo... tahukah engkau? Senja ini adalah haribaanku. Telaga ini adalah altar atas dukaku. Mentari dan rembulan tak ebrarti lagi. Karena siang malamku tlah terkubur bersama asa. Dan engkau, Paijo, apa yang membuatmu datang ke telaga ini? Apa yang merunut langkahmu hingga terdampar di senja ini?
Ttd,
Retno
Surat Paijo 3:
Retno... Sebenarnya, aku memiliki sebuah keinginan. Hasratku untuk dapat terbang jauh dari sini. Bagai burung, aku ingin bebas. Ngin kulihat segala indahnya lintangd an bujur bumi. Ingin kujamah segala sakit yang mungkin ada di belahan kutub sana. Ingin kutorehkan sejarah hidupku pada delapan penjuru mata angin. Namun... Seseorang menentangku. Yang pada telapak kakiknya lah surgaku berada. Yang dengan darahnyalah aku hidup. Retno... Aku hanya ingin hidupku, apa itu salah? Bila hidupku bukan lagi milikku, lantas untuk apa lagi aku ada di dunia?
Surat Retno 3:
Jangan pernah berfikir seperti itu...ersabarlah, Paijo... Sabar itu adalah pelita hati, penghias akhlak dan penenang jiwa. Percayalah, buah kesabaran itu manis rasanya. Dan ingatlah selalu kepada Sang Maha Kasih. Karena Dia-lah kita bisa bertemu di sini, hanya melalui secarik kertas. Ikhlaslah dalam menjalani hari-harimu, Paijo...
Ttd
Retno
Surat Paijo 4:
Makasih Senja, atas nasehatmu. Itu menyegarkan otakku. Membangkitkan semangatku lagi. Betapa dalam hatimu, betapa luas pikiranmu. Betapa segalamu telah terbitkan rasa dalam relungku. Senja, belakangan ini aku terus memikirkan tentangmu. Aku selalu ingin melihatmu, meski hanya sebatas mata memandang. Apakah aku mungkin jatuh hati terhadapmu, Senja? Ini membuatku bingung, bayanganmu tlah mengisi hariku. Rasa yang perlahan bergetar saat pertama kutatap wajahmu. Kini ia menganak sungai, beriak-riak di jiwaku. Tapi suka tak suka aku harus mengatakan ini padamu. Sujud ampunku di kakimu, atas kelancanganku memelihara rasa ini. Namun sungguh, aku tak sanggup lagi mendustai hati. Retno, aku mencintaimu. Aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi kekasihku? Menjadi belahan jiwaku?
Ttd,
Paijo
BABAK IV
Surat-surat Paijo yang menumpuk, Paijo menanti-nanti Retno hingga Retno diketemukan dalam keadaan membusuk
Scene 1:
Surat-surat Paijo menumpuk, tidak dibalas lagi dan Retno menghilang dari telaga
Narrator 2        : Senja kian tua. Surat-surat penghantar cinta Paijo pada Retno kian menumpuk sampai ke bulan. Yang dipuja kini menghilang di dalam rindu yang tak terbilang…
(Monolog Paijo dalam puisi yang merasa kehilangan)
Paijo                : (duduk di atas batu dengan wajah putus asa)Kemanakah ia? Sakitkah? Atau marahkah ia setelah membaca surat terakhirku padanya? Sehingga ia tidak mau lagi berkirim surat denganku? Tahukah ia, betapa rinduku ini dapat mengalahkan tingginya ngarai di desa kita? Mengalahkan tingginya langit senja?  Mengalahkan tingginya mentari yang beranjak ke peraduannya? Mengalahkan jauhnya kerlip bintang-bintang? Dan mengalahkan dalamnya telaga duka ini? Tahukah ia, wajahnya bertaburan di dalam mimpiku? Di dalam anganku? Curahan hatiku yang mengerti jiwaku? Belahan jiwaku? Tahukah ia, aku merindukan melihatnya duduk, di sana, di tepi telaga itu, dengan kecipak kakinya di permukaan air, termenung di dalam kesunyian???
(Paijo pulang ke rumahnya dengan perasaan linglung dan langkah gontai)
   
Scene 2:
Paijo baru selesai shalat, minta petunjuk pada Allah (dengan nada marah) tentang keberadaan Retno – monolog puisi Paijo
Paijo                : (mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan wajah dengan raut memaksa)Ya Allah… Yang Maha Mengetahui apa-apa yang tersembunyi dan yang tidak tersembunyi, bagaimana dapat kulalui hari tanpanya? Tanpa dia yang menjadi tempat curahan hatiku? Bahagiaku? Cintaku? Mengapa ia menghilang begitu saja setelah membaca surat pernyataan rasaku padanya? Mengapa? Mengapa Ya Allah? Mengapa begitu banyak jawaban yang tidak terjawab? Mengapa Kau membiarkanku kebingungan dalam kerinduan yang kian menyesakkan ini? Mengapa Kau membiarkan aku tenggelam di dalam duka yang kian menyeretku ke dalam keputus asaan? Mengapa? Aku ingin jawaban-Mu, Ya Allah. Bukan pertanyaan. Jawaban. AKU INGIN JAWABAN. DI MANAKAH RETNO BERADA KINI? AKU INGIN JAWABAN-MU SEKARANG JUGA. SEKARANG!!!
(terdengar suara riuh di luar rumah Paijo dan derap langkah yang terburu-buru)
Scene 3:
(Ponirah ke luar rumah. Terbengong-bengong melihat keramaian)
Ponirah : (menarik tangan Bejo) Ada apa kok pada Melayu?
Bejo : (berhenti) Ada mayat wanita mengapung di telaga. Sudah bau dan membusuk!
(Bejo kembali dalam kerumunan dan Ponirah masuk ke dalam rumah)
Ponirah : (nafas terengah-engah) Paijo, ayo ke telaga. Kata orang ada mayat  wanita yang sudah bau dan membusuk.
(tanpa komentar Paijo langsung lari menuju telaga)
Paijo tidak dapat berkata-kata. Ia terlongong-longong menatap mayat Retno
Narrator 2        : Manusia… Yang selalu perlu waktu untuk memahami dan mengerti… hikmah di balik setiap peristiwa… yang tergurat di atas kanvas kehidupan dunia… bahwa kadang kala… segala sesuatunya tidak harus selalu membutuhkan jawaban… melainkan pemahaman …
Paijo                : Inikah jawaban-Mu untukku, Ya Allah???
(dengan terbata-bata)
********The End*********